Janji Untuk Ara


Oleh : Susana Nisa (Admin HK Fairies)

Menulis Rinai gerimis lentik menari diantara gedung-gedung pencakar langit. Gemulai gerakannya diterpa angin semilir dan jatuh dengan anggun di setiap helai daun yang memerah. Baginya, Desember selalu menggigit setiap hati yang sepi. Menoreh luka pada batin yang terikat janji. Janji pada seorang gadis kecil nun jauh di tanah seberang. “Ara,” bibirnya bergetar menyebut sebuah nama. 

Perempuan itu meringkuk dalam gelap, mendekap kedua lututnya ke dada dan menangis tersedu-sedu. Ia menangis dengan isakan tertahan. Tak ada tisu, hanya saputangan berwarna biru tua yang dapat ia gunakan untuk menyusut air mata. Seminggu sudah ia menghuni sel berjeruji itu. Untuk sebuah kesalahan yang tak pernah ia lakukan. Perempuan itu kembali tergugu, saat bayang wajah mungil melintas dalam keremangan.

 ***

Laras menyusuri jalan sempit di gang rumahnya. Tubuhnya lusuh. Mukanya kuyu menyiratkan keletihan yang teramat sangat. Seharian sudah ia mencoba mencari pekerjaan. Namun, hasilnya nihil. Dengan modal keterampilan dan ijazah yang sangat minim, mencari pekerjaan di kota bagaikan mencari jarum di tumpukan jerami. Tetapi, sesulit apapun, ia harus tetap berusaha. Karena ia satu-satunya sandaran ibunya yang berusia senja. Juga Ara, gadis kecil berusia tujuh tahun yang sangat membutuhkan perannya sebagai ibu dan ayah. 

Laras mengusap  peluh di dahinya. Menegapkan langkah, saat memasuki rumah tak seberapa luas itu. Ia menapaki lantai berubin dengan perlahan. Matanya sayu menatap setiap bingkai kayu yang tergantung di dinding. Sketsa kebahagiaan sebuah keluarga utuh terpampang menyambutnya. Ada senyum tersamar, tatkala kenangan masa silam berkelebat.

“Ibu, sudah pulang? Kok tidak mengucap salam?” Suara kecil itu mengagetkannya.

“Oh… maafkan ibu, sayang. Ibu lupa,” jawabnya tersenyum. Laras meraih tubuh kecil Ara ke dalam dekapannya. Lebur sudah tanggul airmata yang sejak tadi ia pertahankan. Ia memeluk putrinya begitu erat. Hancur rasa hati mengingat beban yang harus ditanggungnya. Hampir empat bulan ia menyandang status baru, seorang janda beranak satu. Karena takdir langit memisahkannya dengan ayah Ara. Sebuah kecelakaan, telah meruntuhkan kebahagiaan mereka. 

Laras yang hanya ibu rumah tangga biasa dan sepenuhnya bergantung pada suami, terpaksa harus mencari pekerjaan demi menopang biaya hidup keluarga kecilnya. Walau di luar ia nampak tegar, namun jauh di dalam hatinya ia begitu rapuh. Rasa takut membayang akan ketidakpastian masa depan putrinya.

Duka masih bersemayam. Tangis pun belum kering. Tapi hidup harus berlanjut. Tegar bukan berarti tanpa tangis. Dengan kemantapan hati, Laras memutuskan untuk merantau mendulang dolar ke tanah harapan. Mencoba menata kepingan-kepingan asa yang terserak demi malaikat kecilnya. Berusaha menunaikan amanah yang dititipkan di pundaknya. Meski berat terasa, namun tak pantas jika hanya keluh yang terucap. Ia tak ingin berlama-lama terseok dalam kesedihan. 

Demi masa depan Ara. Ia pasrah dan tawakal, jika perpisahan adalah kebahagiaan yang tertunda. Bulir-bulir kristal bergulir membasahi pipi Laras, tatkala langkah kakinya memasuki burung besi yang akan membawanya pergi jauh dari orang-orang tercinta.

Minggu dan bulan-bulan pertama terasa begitu sulit. Rindu akan putri semata wayangnya begitu menyesakkan dada. Ia merasa bersalah karena telah meninggalkan anak sekecil itu, dalam pengasuhan neneknya yang renta. Seandainya boleh meminta, ia ingin berada di dekat buah hatinya. Berselimutkan kehangatan di rumah, tanpa harus pergi jauh darinya.

“Tuhan…, kuatkan hamba-Mu ini,” lirihnya di senyap malam. Hati ibu mana yang tidak perih, manakala harus berpisah dengan permata hati. Seringkali Laras menahan isak ketika menelpon dan Ara merajuk, “Bu, Ara ingin tidur sambil dipeluk ibu.” Atau di lain waktu gadis itu mengirim sms yang berisi, “Ara ingin makan rawon buatan ibu. Mbah Uti masaknya selalu saja asin bu.” 

Dan hal yang sungguh membuat Laras merasa bersalah adalah saat Ara mengeluh tidak bisa mengerjakan tugas dari sekolah. Sebagai seorang ibu, ia yang seharusnya membimbing dan mengajari putrinya, terpaksa memberikan tanggung jawab itu kepada nenek Ara. Batinnya menjerit. Namun, kebulatan tekad untuk memberikan kehidupan yang layak pada putri dan ibunya, membuat Laras bersabar dalam setiap helaan nafas. 

Beruntung majikan baik dan pengertian. Mereka sudah menganggap laras bagian dari keluarga itu. Masa kontrak pertama berhasil ia lalui dengan lancar. Sengaja Laras tak mengambil cuti pulang ke tanah air. Ia pergunakan uang ganti tiket perjalanan dari majikan untuk menambah saldo tabungannya. Meski rindu pada putri semata wayangnya menggelayut di kalbu, ia bertahan. 

Nada protes sang buah hati setiap kali mereka berbincang di telepon, berhasil ia redam dengan kata-kata pamungkas. “Katanya Ara ingin umroh bersama ibu dan mbah uti? Ara juga ingin jadi dokter, kan? Nah, ibu tidak cuti untuk sementara waktu agar semua keinginan Ara bisa terwujud.” Sebisa mungkin Laras memberikan penjelasan pada putrinya, agar Ara bisa mengerti semua yang ia lakukan adalah demi masa depan mereka. Meski sejujurnya hati meronta ingin bertemu dan memeluk gadis kecilnya, namun Laras mencoba menguatkan diri.

Hari berganti, minggu berlalu, bulan berbilang dan tahun semakin melaju. Tanpa terasa tiga tahun Laras mengais rezeki di negeri Beton. Kini ia memasuki tahun ke empat masa kontrak dengan majikan yang sama. Ia telah berjanji pada Ara untuk mengambil cuti saat lebaran, beberapa bulan lagi. Gadis itu bersorak gembira. Tawa renyahnya terdengar nyata meski hanya di ujung telepon. “Sungguh bu? Lebaran kali ini ibu akan pulang?” Tanyanya bersemangat. Belum sempat Laras menjawab, telepon telah berpindah tangan. Berganti suara nenek Ara, ibunda Laras. “Ara jingkrak-jingkrak kegirangan, Ras. Anak itu senang sekali saat kau bilang akan cuti. Hampir empat tahun kau merantau. Ibu rasa sudah saatnya kamu pulang terus untuk mendampingi Ara. Ibu semakin tua. Putrimu sudah besar. Sebentar lagi kelas enam SD. Ibu khawatir, tidak bisa sepenuhnya membimbing Ara.” Laras belum bisa mengiyakan permintaan ibunya. 

Ia sadar, jika memutuskan untuk pulang kampung selamanya, maka ia harus punya cukup tabungan dan modal demi kelangsungan pendidikan Ara serta kehidupan mereka. Cuti, adalah alternatif terbaik untuk keadaannya saat ini. Harus ada yang dikorbankan. Dan Laras yakin, jika pengorbanannnya demi putri dan ibunya tidak akan sia-sia. Ia pun nampak sumringah saat mengakhiri perbincangan dengan ibunya di telepon. Setelah beberapa kali Ramadhan dan hari raya hanya ia rayakan sendiri, maka beberapa bulan lagi ia akan merayakannya dengan orang-orang terkasih.

Namun, kebahagiaan Laras hanya sementara. Dua minggu berselang, mendung kembali menggelayut. Proses renew paspor miliknya menghadapi masalah serius. Karena penerapan sistim SIMKIM atau pembuatan paspor secara biometrik, yaitu data pemohon paspor disinkronkan dengan data yang dimiliki oleh Imigrasi di Jakarta. 

Dari proses itu, Laras diketahui memiliki data ganda. Data yang tertera di paspor miliknya tidak sama dengan data yang ada di Imigrasi Jakarta. Sehingga petugas konsulat memintanya untuk melakukan koreksi data sesuai dengan data yang ada di Imigrasi Jakarta. Setelah berkonsultasi dan diberi penjelasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan koreksi data diri di paspor, Laras diminta pihak konsulat untuk membuat KTP HK dan melakukan pembenahan data di kantor Imigrasi Hong Kong. 

Berbekal surat pengantar dari konsulat, Laras membuat kartu tanda penduduk sementara. Namun malang, pihak Imigrasi Hong Kong mempermasalahkan kasus Laras dan membawanya ke sidang pengadilan dengan tuduhan pemalsuan data. Kasusnya masih bergulir dan vonis belum dijatuhkan. Tetapi Laras harus menghuni hotel prodeo selama kasusnya diproses.

 ***

Langkah-langkah kaki terdengar nyaring mendekati sel, ruangan tempat Laras menangisi nasibnya selama seminggu ini. Seorang sipir wanita memanggil nama Laras. Ia memberitahukan ada yang datang berkunjung. Laras berjalan pelan diiringi tatapan sayu para penghuni sel lain. 

Dalam hati ia berharap, semoga ada titik terang atas kasus yang ia hadapi. Di ruang tunggu untuk berkunjung, dua orang, satu lelaki dan satu wanita telah menunggu. “Selamat siang bu Laras, saya perwakilan dari KJRI dan saudari ini perwakilan dari salah satu organisasi pekerja Indonesia yang ada di Hong Kong,” ujar si lelaki memperkenalkan diri mereka.

“Kami sedang mengusahakan segala upaya untuk bisa memenangkan kasus ibu. Karena itu kami harap bu Laras bersabar. Kami akan mendampingi dan mengawal kasus ibu sampai selesai,” katanya lagi. Laras hanya mengangguk. 

Hatinya dilanda bimbang. Akankah ia dibebaskan? Ataukah ia akan menjadi penghuni sel berjeruji itu untuk sementara waktu? Kemudian dipulangkan dan tidak dibolehkan masuk ke Hong Kong untuk bekerja? Bagaimana ia menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan Ara? Beribu pertanyaan berseliweran di benaknya. Suara riang putri semata wayangnya, kembali terngiang di telinga Laras. Kristal bening perlahan menetes di kedua pipinya. Berharap cemas akan ketidakpastian nasib dan takdir hidupnya.


Termuat di rubrik Pojok Viktori

Apakabar Plus

20 Agustus 2016

No comments

Post a Comment