Perempuan Kedua


Jakarta-Sydney masih tiga jam lagi. Tapi lebih baik aku menunggu di bandara dan menulis sebuah notes atau sekedar puisi tanpa judul, daripada menenggelamkan lambungku dengan kafein. Jariku lincah menari di atas tuts-tuts tombol ipad hadiah ulang tahun darinya. Saat tiba-tiba sebuah pesan masuk di BBM ku.
"Kartika, kumohon balas smsku ini secepatnya. Aku membutuhkanmu sayang. Kumohon jangan pergi, aku sangat mencintaimu." Sedetik kemudian sebuah telpon masuk. Nomor yang baru saja mengirimkan pesan singkat tersebut, terpampang di layar BBM ku. 

Untuk beberapa saat aku hanya memandanginya. Ingin menjawab. Namun, segera kuurungkan niatku. Aku harus belajar mengekang diri dan melupakannya. Meskipun sebagian hatiku tak rela melepaskan dan berat untuk melangkah. Aku yang harus pergi dari kehidupannya. Telpon masih berdering. Aku bergeming. Membiarkannya lelah dan berharap ia benar-benar sadar bahwa kami tak mungkin bersama lagi.


Beberapa bulan yang lalu kami bertemu di sebuah gala dinner di Bandung. Aku hadir di sana mewakili perusahaan tempatku bekerja. Di tempat itulah untuk pertama kalinya, setelah lima tahun berpisah kami dipertemukan oleh tangan takdir. Ia tampak gagah dan tampan. Dan senyum khas itu, masih setia tersungging di bibirnya. Aku terkesima, tatkala ia dengan hangat menjabat tanganku. 

Pertemuan sesaat tanpa di sengaja, membuat kami kembali merajut jalinan benang kasih yang telah lama terpisah. Meski ia kini tak lagi sendiri. Telah ada seorang wanita dan dua jagoan kecil yang senantiasa menunggu kepulangannya. Namun, cinta dan nafsu telah membutakan nurani kami. Dari sekedar bertukar nomer pin BBM, berlanjut dengan kencan di hotel kemudian memuaskan diri untuk menikmati dunia malam.

Lima tahun yang lalu, aku bisa menerima ciumannya secara gratis setiap kali bertemu di malam minggu. Menikmati setiap detik-detik bersamanya tanpa dibayar. Hanya berbekal kata cinta atau isyarat suka sama suka. Karena saat itu kami masih sama-sama mahasiswa yang sedang kasmaran.

Namun kini, semuanya berbeda. Akbar telah menikah dan ia telah menjadi seorang CEO di sebuah perusahaan bonafit di ibukota. Aku sendiri, seorang sekretaris sekaligus asisten pribadi dari seorang direktur utama perusahaan yang bergerak di bidang properti. Pergaulanku dengan kalangan atas, membuat sikap dan gaya hidupku sangat borjouis. Uang di pertuhankan. Sikut kanan sikut kiri untuk mendapatkan kenaikan jabatan adalah hal biasa. Terkesan mewah, glamor dan fashionable adalah gaya hidupku saat ini. Baju, sepatu dan tas harus bermerk. Tempat tinggal pun harus di apartemen mewah. Semua itu sangat mudah aku dapatkan, karena kelihaianku memuaskan keinginan sang Big Bos.

Nuraniku sebagai seorang wanita mungkin telah mati. Karena aku tak peduli, meski harus merangkap tugas sebagai sekretaris juga sebagai wanita simpanan. Apa salahnya menikmati kemewahan, dari hasil jerih payahku memanfaatkan kecantikan dan kemolekan tubuh. Toh, aku tidak meminta status sah dari pak direktur. Karena aku sudah bahagia dengan segala kemewahan yang kumiliki. 

Namun, saat bertemu dengan Akbar, cinta pertamaku ketika masih kuliah dulu, rasa aneh menyusup ke dalam labirin hati. Tak dapat kupungkiri, rasa sayang itu masih ada. Meskipun pagar pembatas di antara kami nyata terlihat, tapi hasrat yang membuncah telah mengalahkan akal sehat kami berdua. Akbar pun tak ambil pusing, saat ia mengetahui bahwa aku adalah wanita simpanan direktur perusahaan di mana aku bekerja. Baginya, aku tetaplah Kartika yang dulu. Sang primadona kampus yang telah membuatnya bertekuk lutut dan menyerah tanpa syarat.

Pertemuan kami terencana dengan sangat rapi dan rahasia. Aku harus pandai mengatur waktu untuk melayani pak direktur. Karena dialah sumber kemewahanku. Sedangkan kepada Akbar, aku tak pernah meminta apapun yang memberatkannya. Karena apa yang kulakukan dengannya, adalah murni karena rasa cinta. Hingga pada suatu minggu sore, saat hanya sendirian di apartemen, seorang tamu tak di undang datang dan merubah pendirianku. 


Seorang wanita berjilbab dengan menggendong bayi dan menuntun seorang anak laki-laki, mengetuk pintu apartemen. Ucapan salam menyapa saat perlahan kubukakan pintu untuknya. Dengan ragu kujawab salamnya, karena dalam keseharianku, ucapan 'hai', 'halo' dan sejenisnya yang lebih akrab dan selalu aku gunakan untuk menyapa siapa saja.
"Anda Kartika?" tanyanya dengan sopan.
"Iya benar, ada yang bisa saya bantu?" jawabku seramah mungkin.
"Perkenalkan, saya Aisyah, istrinya mas Akbar!" wanita itu tersenyum sambil mengulurkan tangan.
Aku tertegun. Kedua mataku menatap lekat wanita di depanku. Anggun dan cantik dengan jilbab panjang warna biru muda, senada dengan gamis yang dia kenakan. Sekilas aku menatap ke arah bayi dalam gendongannya. Kemudian memperhatikan anak lelaki yang berusia sekitar enam tahun, menggenggam erat tangan wanita itu.
"Boleh kami masuk?" pertanyaannya mengagetkanku. 

Tak ada kata terucap dari bibirku. Hanya anggukan kepala dan gestur tubuh yang mempersilahkannya untuk masuk. Ia duduk di sofa panjang bersama putranya. Aku sendiri memilih untuk duduk di kursi yang menghadap ke pintu. Entah mengapa, aku merasa membutuhkan asupan oksigen lebih banyak. Hening beberapa saat, hingga bayi dalam gendongannya menangis. Namun, hanya sebentar. Karena wanita itu dengan lembut menepuk-nepuk pantat bayinya. Dan makhluk mungil berwajah manis bak malaikat itu tidur kembali.

"Anda mau minum apa?" kucoba berbasa-basi.
"Tidak usah repot-repot, saya datang kemari hanya ingin membicarakan tentang mas Akbar," jawabnya pelan.
"Saya tidak mengerti apa maksud anda?" tanyaku berpura-pura.
"Kartika, kita sama-sama perempuan. Saya sudah tahu tentang hubungan anda dengan suami saya," ia berhenti berkata dan menghela nafas.
"Saya hanya ingin kebahagiaan untuknya dan juga kedua anak kami," lanjutnya sambil memandang kedua buah hatinya. Hening beberapa saat, hingga suara bocah kecil di sebelahnya memecah kebisuan.
"Mama, Andi haus ma, katanya tadi mau dibelikan es krim, mana sekarang es krimnya?" ia merajuk.

"Andi sayang, es krimnya nanti mama belikan, sabar ya!" ucap wanita itu lembut sambil mengelus kepala putranya. Tanpa menunggu lama, aku segera berdiri dan melangkah ke dapur mengambil dua gelas air putih dan sebungkus es krim rasa coklat. Lalu kuberikan kepada bocah laki-laki itu. Mata kecilnya berbinar dan senyumnya, ya Tuhan, senyumnya benar-benar mirip Akbar.

"Terima kasih tante, Andi suka sekali es krim rasa coklat, papa juga suka kan ma?" tanyanya seraya menoleh ke wanita berjilbab biru di hadapanku. Wanita itu hanya tersenyum. Sebuah senyum yang dipaksakan.
"Kartika, apa anda benar-benar mencintai mas Akbar?" tanyanya memecah kebisuan diantara kami.

"Kalau iya, maka saya rela mas Akbar menikah dengan anda. Saya ikhlas berbagi suami, asal mas Akbar tidak menceraikan saya." Kata-katanya meluncur tanpa jeda. Meski seulas senyum tersungging di bibir merah mudanya yang alami tanpa sapuan lipstik, tapi dapat kulihat ada genangan di bening matanya yang teduh.


Dadaku bergemuruh. Bukan emosi yang kini bergejolak. Namun, serbuan rasa bersalah mengguncang kisi-kisi hatiku. Kupandangi bayi dalam gendongannya. Lalu beralih pada bocah lelaki di sebelahnya yang kini sibuk menikmati es krim, tanpa sadar akan apa yang terjadi. Aku mencoba menguatkan hati untuk tersenyum dan berkata, "Aisyah, maafkan saya karena telah masuk dan mengganggu ketentraman rumah tangga kalian. Tapi percayalah, mulai hari ini saya berjanji tidak akan menemui Akbar lagi. Dan saya akan pergi dari kehidupannya. Semoga rumah tangga kalian kembali tentram seperti semula." 

Kuulurkan tangan untuk menjabatnya. Aisyah menyambut dan menggenggam erat tanganku. Genangan di telaga beningnya, kini jatuh menjelma menjadi buliran kristal jernih di kedua pipinya.

"Terima kasih Kartika, semoga Yang Kuasa memberikan anda pendamping seorang lelaki yang terbaik dari sisiNya," ucapnya seraya tersenyum. Genggaman tangannya semakin erat. Aku membalas senyumannya dan sekali lagi kuyakinkan ia, bahwa aku akan pergi dari kehidupan Akbar untuk selamanya. Setelah itu ia pamit. Sebuah ucapan terima kasih kembali terucap dari bibirnya. Aku mengantarnya sampai pintu lift. Kemudian kembali ke dalam rumah setelah pintu lift yang membawa Aisyah beserta kedua buah hatinya tertutup.

Malamnya, saat Akbar datang ke apartemen, kami bertengkar hebat. Sengaja aku tidak mengatakan tentang kedatangan istri dan kedua putranya. Aku hanya mengatakan ingin mengakhiri hubungan kami dan memutuskan menerima tawaran dari bosku, untuk menghandle cabang perusahaannya yang ada di Batam. 

Sebuah kebohongan yang aku rencanakan untuk meninggalkannya. Akbar memintaku untuk tetap tinggal Jakarta. Ia berjanji akan memenuhi segala keinginanku, juga menikahiku. Kutolak semua tawarannya dengan mengatakan, bahwa selama ini aku hanya menjadikannya sebagai pelampiasan rasa kesepianku. Bahwa aku berpura-pura mencintainya.


Mata Akbar nanar menatapku. Sejurus kemudian tangannya dengan keras menampar pipiku. Tak siap dengan reaksi spontan Akbar, aku terhuyung dan jatuh terjerembab. Darah segar mengalir dari bibir dan hidungku. Tak ingin sesuatu lebih buruk terjadi, aku berlari dan masuk kamar lalu menguncinya. Di ruang tengah Akbar berteriak-teriak dan segala sumpah serapah keluar dari mulutnya. Terdengar suara pecahan kaca dan entah barang apalagi yang menjadi sasaran kemarahannya. 

Lalu, senyap menyeruak. Sedetik kemudian terdengar suara pintu tertutup. Aku masih terduduk di belakang pintu kamar. Tak kuhiraukan bercak darah yang masih terlihat basah di kemeja putih yang kupakai. Aku duduk terpekur. Untuk beberapa saat hanya diam, mencoba mengatur nafas dan kesadaran diri. Hingga tanpa sadar aku tertidur di lantai.


Keesokan paginya, setelah membersihkan diri dan mengepak beberapa helai baju yang kubutuhkan, segera kutelpon bagian lobi untuk memanggilkan taksi. Sepuluh menit berselang, taksi yang kuminta tiba. Setelah menitipkan kunci apartemen ke petugas di lobi dan mengatakan bahwa nanti akan ada temanku yang mengambil kunci tersebut, aku bergegas keluar dari gedung dan memasuki taksi yang telah menungguku. Selang beberapa saat, taksi telah melaju dan membelah keramaian kota.



Jariku masih sibuk menari di atas tuts-tuts ipad. Tak kuhiraukan BBM ku yang terus bergetar. Kulirik sekali lagi nomer yang masuk. Masih nomer yang sama, milik Akbar. Kuhela nafas perlahan. Lalu berjalan menuju gerbang pemberangkatan saat terdengar panggilan untuk para penumpang penerbangan Jakarta-Sydney.

Teah kumantapkan hati untuk mengubur semua kisahku dengan Akbar. Karena sejatinya cinta adalah melepaskan, bukan mengekang dan merampas kebahagiaan wanita lain.

Susana Nisa
Termuat di Majalah Iqro

No comments

Post a Comment